Warga nonpribumi tidak boleh memiliki hak untuk memiliki tanah alias SHM (surat hak milik) di Yogyakarta

Breaking News. Isu sensitif di Yogyakarta kembali menjadi pemberitaan ramai. Setelah sebelumnya mencuat dalam kasus Florence Sihombing yang menghina Yogyakarta, kali ini kasus yang dianggap berbau diskriminasi SARA membuat Yogyakarta kembali menjadi topik perbincangan setelah Kepala Kantor Wilayah BPN (Badan Pertanahan Nasional) Yogyakarta, Arie Yuwirin menegaskan warga negara Indonesia (WNI) nonpribumi tidak boleh memiliki hak untuk memiliki tanah alias SHM (surat hak milik) di Yogyakarta.


BPN pun meluruskan pernyataan Sultan Hamengku Buwono X, terkait permasalahan tanah bagi warga Tionghoa seperti yang dilaporkan Granad (Gerakan Anak Negeri Anti Diskriminasi) ke Presiden Joko Widodo (Jokowi).

"Sebetulnya tidak seperti itu, jadi kaitannya dengan Granad itu karena keinginan untuk mendapatkan hak milik untuk nonpribumi," katanya di kantor wilayah BPN DIY.

Dia menjelaskan, aturan WNI nonpribumi tidak diperbolehkan memiliki hak milik tanah di Yogyakarta sudah diatur dalam instruksi gubernur tahun 1975. Bahkan ketika instruksi itu dibawa ke MA, MA memenangkan putusan itu menjadi Yurisprudensi.

Arie Yuwirin menegaskan bahwa bukan hanya warga Tionghoa saja yang tidak boleh memiliki tanah di Yogyakarta, tetapi semua warga keturunan seperti India, dan keturunan suku bangsa asing lainnya juga tidak diperbolehkan.

Namun terkait dengan tudingan tidak ada tanah negara di Yogyakarta yang juga diamini oleh Sultan, Arie mengaku tidak berani memberikan penjelasan. Dia juga menolak membeberkan data BPN tentang kepemilikan tanah di Yogyakarta.

Sebelumnya, Sultan Hamengku Buwono X sebagai Gubernur dan Raja Keraton Yogyakarta dilaporkan ke Jokowi karena dugaan separatisme. Laporan tersebut ditulis Ketua Granad Willie Sebastian, dalam bentuk surat yang dikirim 12 September 2015.

Dalam surat tersebut Sultan dituding telah menyelewengkan Undang-undang No 13 Tahun 2012 tentang Keistimewaan DIY sehingga menimbulkan ketidakpastian hukum, terutama di bidang pertanahan dan indikasi separatis dengan menghidupkan aturan hukum Kolonial (Rijksblad) dan mengesampingkan UUPA No.5/1960.

"Tujuannya itu ingin menguasai tanah milik negara. Dan Sultan juga pernah bilang kalau di Yogyakarta itu tidak ada tanah negara," katanya.

Setidaknya ada empat poin indikasi separatisme yang dilakukan Sultan yang ditulis oleh Willie. Pertama, pengambilalihan hak menguasai negara terhadap tanah negara, dengan cara sertifikasi tanah-tanah negara menjadi tanah Keraton.

Kedua, pengambilalihan hak milik masyarakat atas tanah desa sebagai aset publik, dengan cara penerbitan Peraturan Gubernur DIY No 112 Tahun 2014 tentang Pemanfaatan Tanah Desa.

"Aturan itu bertentangan dengan UU No 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok Agraria Diktum IV, UU No 6 Tahun 2014 tentang Desa Pasal 76 dan UUK DIY Pasal 16. Desa jadi kehilangan milik tanah Desa," terangnya.

Ketiga, penerbitan Raperdais bidang Pertanahan yang isinya adalah upaya menghidupkan kembali Rijksblad sebagai dasar Sultan Ground. Padahal Sultan Ground sudah dihapus dengan Perda DIY No 3 Tahun 1984.

"Ini jelas bertentangan dengan UUPA, kita itu sering ditipu karena tidak tahu. UUPA itu sudah berlakukan di Yogyakarta, tapi pemerintah tidak mau menggunakannya," tegasnya.

Keempat dugaan perlakuan diskriminatif terhadap warga negara Indonesia non pribumi. Seperti diketahui, warga non pribumi tidak diperbolehkan memiliki hak milik tanah di Yogyakarta.

"Saya mau tanya, apa ada WNI non pribumi? WNI ya WNI. Ini diskriminasi, padahal kita sudah punya UU No 40 Tahun 2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis,"

Sementara itu tim hukum Keraton Yogyakarta, KRT Niti Negoro mengatakan hal tersebut benar dan ada aturannya. Menurutnya, larangan tersebut diatur melalui surat instruksi Wakil Gubernur yang ditandatangani Paku Alam VIII pada 5 Maret 1975.

Dalam surat tersebut dituliskan bahwa hingga saat itu, warga negara Indonesia non pribumi belum boleh memiliki tanah.

"Memang tidak boleh, karena ada aturannya. Sudah pernah ada yang menggugat, tapi tidak ada masalah, itu tetap berlaku," katanya.

KRT Niti Negoro menjelaskan alasan dikeluarkan peraturan tersebut karena pertimbangan untuk pemerataan hak. Pada waktu itu jika tidak diatur demikian, maka tanah-tanah di Yogyakarta akan dikuasai oleh warga keturunan yang pada waktu itu dominan dalam ekonomi.

"Alasannya dari sejarah, dalam rangka pemerataan hak, supaya tanah tidak dikuasai kelompok yang kuat ekonomi. Agar tanah strategis tidak dikuasai ekonomi kuat. Maka kemudian dikeluarkan aturan itu," terangnya. Mantap ni baru pemerinta belain Indonesia gimana menurut kalian

Related Cars


Nicestcar offers the latest car news as well as a look at the automotive past. Classic cars, muscle cars, exotic cars, supercars, everyday cars - All makes. All models.
Previous
Next Post »

About | Privacy Policy | Sitemap | Contact

© 2017 Hobi Aneka Usaha